“Aku mematung,
mendengarkan suara dan petikan gitarnya dalam hujan, ditemani sepotong
cookies”.
Pagi itu begitu cerah, tak ada tanda-tanda akan
datang hujan. Tik tok...tik tok...tik tok... suara jam dinding terdengar jelas.
Riri terbangun, seperti biasa ia langsung bercermin. Umumnya wanita bangun
dengan kulit kusut, wajah sayu, serta kulit yang kusam dan lingkaran hitam di
mata. Riri tidak ingin terlihat seperti itu, ia selalu ingin rona wajah yang
segar, sudah biasa setiap pagi ia membasahi handuk dengan air, memasukkannya
dalam lemari es selama tigapuluh menit, kemudian menepuk-nepukkan ke wajah. Ia
merasa lebih fresh jika sudah melakukan kebiasaannya itu. Hari pertama masuk
sekolah baru, Riri tidak terlihat ceria seperti biasa entah apa yang membuatnya
tidak bersemangat. “Selamat pagi anak-anak, mari kita sambut penghuni baru di
kerajaan musik kita” Riri sedikit tertawa mendengar ucapan itu. Ia melangkahkan
kaki memasuki kelas musik, “Pagi, saya Riri” ia tersenyum, mungkin terlalu
singkat untuk sebuah perkenalan, tapi memang begitulah ia, tidak suka
basa-basi. Ia perhatikan sekeliling kelas, mencari bangku kosong. Hanya satu,
bangku paling belakang. “Selamat datang Ri” kata seorang laki-laki di sebelahnya.
“Thank you”. “Kau tidak ingin tahu namaku?” tanyanya, “Katakan saja, akan aku
ingat” jawab Riri santai. “Putra”. Riri hanya tersenyum. Waktu berlalu hingga
bel berbunyi. Satu hal yang membuat Riri penasaran, Putra begitu pendiam,
selama di sekolah ia tak terlihat banyak bicara, yang Riri tahu hari ini Putra
hanya berbincang dengannya, itupun sangat singkat. Siang itu Riri mampir di
sebuah kafe bernama “Paradoks Cookies”. “Hai Ay, aku sudah tepati janjiku, apa
kau akan memberikan wejangan siang?” canda Riri. “Tentu” sambil meletakkan
sepotong cookies. Riri membuka lintingan kertas, “Bukan sampul tapi isi” kata
Riri. “Ketika kau melihat sesuatu, maka sampul bukanlah sebuah jaminan, buku
misal, yang terpenting isinya bukan sampul, orang yang terlihat pendiam belum
tentu dia tidak banyak bicara di luar yang tak kita ketahui, mungkin hanya saja
dia malas bicara” Aya menjelaskan. “Dan orang yang kurus belum tentu makanya
cuma sedikit, bahkan bisa lebih banyak dari orang gemuk” sambung Riri “Ahaha”
Riri dan Aya tertawa. Mereka adalah sahabat baru, tetapi dua gadis itu mudah
sekali akrab. Aya adalah anak dari pemilik kafe itu. Ia tidak bersekolah, tapi
gaya bicara dan pengetahuan Aya tidak kalah dengan teman-teman sebayanya yang
bersekolah. Perbincangan mereka terus berlanjut hingga sore hari, Riri sangat
betah berada berjam-jam di Paradoks Cookies, karena Aya tidak pernah kehabisan
materi. Lagi pula, Aya diizinkan ayahnya untuk menemaniku, dan tugasnya
digantikan oleh pelayan lain. Riri harus pulang, “Ay aku pulang dulu, salam
untuk pak Frenky, terimakasih cookies gratisnya” kata Riri. “Oke, Ri hati-hati
di jalan, jangan ngebut, cukup kencang aja” canda Aya. “Ahaha” sambil
melambaikan tangan Riri meninggalkan Paradoks Cookies. Sepanjang perjalanan
menuju rumahnya, Riri terngiang-ngiang kata-kata Aya. “Aku benar-benar
penasaran dengan pria itu, dasar orang aneh” kata Riri. Seminggu ini adalah
latihan dan praktek musik, para siswa diharap menciptakan sebuah lagu sederhana
kemudian menampilkannya. Riri heran, hari pertama,kedua,ketiga ia tak melihat
Putra hadir di kelas. Hari keempat, Riri melihat Putra hadir. “Ke mana saja
kau, kau tahu kan praktek itu salah satu penilaian penting” kata Riri. “Ya, aku
tahu” jawabnya cuek. “Lalu kenapa kau tak peduli?” “Itu urusanku” jawab Putra
sambil meninggalkan kelas. Saat itu juga, Riri benar-benar tidak mengerti, ia
tidak akan menanyainya lagi. Waktu berlalu hingga akhirnya tiba saatnya untuk
praktek.
“Pahami kata-kataku, Apa kau lihat aku, Apa kau
suka aku berdiri di sini, Apa kau perhatikan, Apa ada yang peduli, Bisakah kau
bersikap lebih manis, Bisakah kau tidak diam, Berilah aku satu alasan, Sedikit saja sudah cukup, sedetik saja, kita
tak hancur hanya bengkok”
Riri menyanyikan
lagu ciptaannya, berharap dia akan mendengarkan Riri, mengomentarinya, tapi
hasilnya zero, dia tak datang, sesosok pria aneh bernama Putra, pria pendiam
dan jutek yang membuatnya penasaran. Teman-teman Riri memberikan tepuk tangan
dan pujian, tapi Riri tak peduli, yang ia pikirkan sekarang adalah di mana Putra,
kenapa ia tak masuk kelas, tanyanya dalam hati. Semua siswa selesai
mempraktekan, saatnya pulang. “Ay aku ingin bertemu denganmu besok, aku datang
ke Pakies besok sore ya? Ayahmu pasti mengizinkan kau menemaniku bukan? Riri
mengirimkan pesan itu kepada Aya. Sore hari di Paradoks Cookies, hari itu
mendung, baju Riri sedikit basah karena ta membawa payung. “Hai Ay” sambil
memeluk Aya erat. “Hai, mari duduk, aku sudah siapkan sepotong cookies untukmu”
kata Aya. “O iya, ada hal yang perlu aku ceritakan padamu soal Putra” kata Aya.
“Apa? Kau mengenalnya? Ah dia sangat menyebalkan” jawab Riri. Belum Aya
menjawab, tiba-tiba sesosok pria, membawa gitar, maju kedepan, menyanyikan
sebuah lagu, yang belum pernah Riri dengar. “Apa? Itu dia, pria aneh yang
menyebalkan, dia bisa? Oh aku tak percaya” kataku.
“Sejak awal kau
adalah pencuri, Kau curi hatiku, Dan akulah korbanmu, Korbanmu yang rela”
Begitulah lirik dari
lagu yang Putra nyanyikan. Ia kemudian turun, menghampiri Riri. “Apa kau puas”
tanya Putra. “Kau memang aneh, memang gila” kataku sambil tertawa. “Apa kau
masih sendiri?” ,Riri hanya tersenyum. Terjawablah sudah rasa penasaran Riri
itu. “Aku mematung, mendengarkan suara dan petikan
gitarnya dalam hujan, ditemani sepotong cookies”. Katanya dalam hati.